Struktur Teks Eksplanasi Kompleks “Perkembangan Islam di Indonesia”
Struktur
Teks Eksplanasi Kompleks
“Perkembangan Islam di Indonesia”
“Perkembangan Islam di Indonesia”
Struktur
teks eksplanasi kompleks tentang perkembangan Islam di Indonesia terdiri atas
pendahuluan dan perincian. Di bagian pendahuluan, diuraikan tentang masuk Islam
di Indonesia. Di bagian perincian 1, diuraikan tentang pendapat dari para ahli
waktu kedatangan Islam ke Indonesia. Di bagian perincian 2, diuraikan tentang
cara penyebaran agama Islam di Indonesia yang melalui saluran-saluran. Di
bagian perincian 3, diuraikan tentang masuknya Islam pada saluran perdagangan.
Di bagian perincian 4, diuraikan tentang masuknya Islam pada saluran pernikahan.
Di bagian perincian 5, diuraikan tentang masuknya Islam pada saluran tasawuf.
Di bagian perincian 6, diuraikan tentang masuknya Islam pada saluran
pendidikan. Di bagian perincian 7, diuraikan tentang masuknya Islam pada
saluran kesenian. Di bagian perincian 8, diuraikan tentang masuknya Islam pada
saluran dakwah. Untuk lebih jelasnya Struktur Teks Eksplanasi Kompleks
Perkembangan Islam di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut.
Pendahuluan:
Sejak dahulu bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah dan suka
bergaul dengan bangsa lain. Oleh karena itu, banyak bangsa lain yang datang ke
wilayah Nusantara untuk menjalin hubungan dagang. Ramainya perdagangan di
Nusantara yang melibatkan para pedagang dari berbagai negara disebabkan
melimpahnya hasil bumi dan letak Indonesia pada jalur pelayaran dan perdagangan
dunia. Pada sekitar abad ketujuh, Selat Malaka telah dilalui oleh pedagang Islam
dari India, Persia, dan Arab dalam pelayarannya menuju negara-negara di Asia
Tenggara dan Cina. Melalui hubungan perdagangan tersebut, agama dan kebudayaan
Islam masuk ke wilayah Indonesia. Pada abad kesembilan, orang-orang Islam mulai
bergerak mendirikan perkampungan Islam di Kedah (Malaka), Aceh, dan Palembang.
Perincian 1:
Waktu kedatangan Islam di Indonesia masih ada perbedaan pendapat. Sebagian
ahli menyatakan bahwa agama Islam itu masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 sampai
dengan abad ke-8 Masehi. Pendapat itu didasarkan pada berita dari Cina zaman
Dinasti T’ang yang menyebutkan adanya orang-orang Ta Shih (Arab dan Persia)
yang mengurungkan niatnya untuk menyerang Ho Ling di bawah pemerintahan Ratu
Sima (674).
Sebagian ahli yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia baru abad
ke-13. Pernyataan ini didasarkan pada masa runtuhnya Dinasti Abbassiah di
Bagdad (1258). Hal itu juga didasarkan pada berita dari Marco Polo (1292),
berita dari Ibnu Batuttah (abad ke-14), dan Nisan Kubur Sultan Malik al Saleh
(1297) di Samudera Pasai. Pendapat itu diperkuat dengan masa penyebaran ajaran
tasawuf.
Perincian 2:
Proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia
berlangsung secara bertahap dan dilakukan secara damai sehingga tidak menimbulkan
ketegangan sosial. Cara penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia
melalui berbagai saluran.
Perincian 3:
Saluran yang digunakan dalam proses islamisasi di Indonesia pada awalnya
melalui perdagangan. Hal itu sesuai dengan perkembangan lalu lintas pelayaran
dan perdagangan dunia yang ramai mulai abad ke-7 sampai dengan abad ke- 16,
antara Eropa, Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Cina.
Proses islamisasi melalui saluran perdagangan ini dipercepat oleh situasi
politik beberapa kerajaan Hindu pada saat itu, yaitu adipati-adipati pesisir
berusaha melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah pusat di Majapahit.
Pedagang-pedagang muslim itu banyak menetap di kota-kota pelabuhan dan
membentuk perkampungan muslim. Salah satu contohnya adalah Pekojan.
Perincian 4:
Kedudukan ekonomi dan sosial para pedagang yang sudah menetap makin baik.
Para pedagang itu menjadi kaya dan terhormat, tetapi keluarganya tidak dibawa
serta. Para pedagang itu kemudian menikahi gadis-gadis setempat dengan syarat
mereka harus masuk Islam. Cara itu pun tidak mengalami kesulitan. Saluran
islamisasi lewat perkawinan ini lebih menguntungkan lagi apabila para saudagar
atau ulama Islam berhasil menikah dengan anak raja atau adipati. Kalau raja
atau adipati sudah masuk Islam, rakyatnya pun akan mudah diajak masuk Islam.
Misalnya, perkawinan Maulana Iskhak dengan putri Raja Blambangan yang
melahirkan Sunan Giri; perkawinan Raden Rahmat (Sunan Ngampel) dengan Nyai Gede
Manila, putri Tumenggung Wilatikta; perkawinan putri Kawunganten dengan Sunan
Gunung Jati di Cirebon; perkawinan putri Adipati Tuban (R.A. Teja) dengan Syekh
Ngabdurahman (muslim Arab) yang melahirkan Syekh Jali (Jaleluddin).
Perincian 5:
Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik dan
hal-hal magis. Oleh karena itu, para ahli tasawuf biasanya mahir dalam
soal-soal magis dan mempunyai kekuatan menyembuhkan. Kedatangan ahli tasawuf ke
Indonesia diperkirakan sejak abad ke-13, yaitu masa perkembangan dan penyebaran
ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India yang sudah beragama Islam.
Bersamaan dengan perkembangan tasawuf, para ulama dalam mengajarkan agama
Islam di Indonesia menyesuaikan dengan pola pikir masyarakat yang masih
berorientasi pada agama Hindu dan Buddha sehingga mudah dimengerti. Itulah
sebabnya, orang Jawa begitu mudah menerima agama Islam. Tokoh-tokoh tasawuf
yang terkenal, antara lain Hamzah Fansyuri, Syamsuddin as Sumatrani, Nur al Din
al Raniri, Abdul al Rauf, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Panggung.
Perincian 6:
Lembaga pendidikan Islam yang paling tua adalah pesantren. Murid-muridnya
(santri) tinggal di dalam pondok atau asrama dalam jangka waktu tertentu
menurut tingkatan kelasnya. Pengajarnya adalah para guru agama (kiai atau
ulama). Para santri itu jika sudah tamat belajar, pulang ke daerah asal dan
mempunyai kewajiban mengajarkan kembali ilmunya kepada masyarakat di sekitar.
Dengan cara itu, Islam terus berkembang memasuki daerah-daerah terpencil.
Pesantren yang telah berdiri pada masa pertumbuhan Islam di Jawa, antara
lain Pesantren Sunan Ampel di Surabaya yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan
Ampel) dan Pesantren Sunan Giri yang santrinya banyak berasal dari Maluku
(daerah Hitu). Raja-raja dan keluarganya serta kaum bangsawan biasanya mendatangkan
kiai atau ulama untuk menjadi guru dan penasihat agama. Misalnya, Kiai Ageng
Selo adalah guru Jaka Tingkir; Kiai Dukuh adalah guru Maulana Yusuf di Banten;
Maulana Yusuf adalah penasihat agama Sultan Ageng Tirtayasa.
Perincian 7:
Berkembangnya agama Islam dapat melalui seni budaya, misalnya seni bangunan
(masjid), seni pahat (ukir), seni tari, seni musik, dan seni sastra. Seni
bangunan masjid, mimbar, dan ukir-ukirannya masih menunjukkan seni tradisional
bermotifkan budaya Indonesia–Hindu, seperti yang terdapat pada candi-candi
Hindu atau Buddha. Hal itu dapat dijumpai di Masjid Agung Demak, Masjid Sendang
Duwur Tuban, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid
Baiturrahman Aceh, dan Masjid Ternate. Pintu gerbang pada kerajaan Islam atau
makam orang-orang yang dianggap keramat menunjukkan bentuk candi bentar dan
kori agung. Begitu pula, nisan-nisan makam kuno di Demak, Kudus, Cirebon,
Tuban, dan Madura menunjukkan budaya sebelum Islam. Hal itu dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa Islam tidak meninggalkan seni budaya masyarakat yang telah
ada, tetapi justru ikut memeliharanya. Seni budaya yang tetap dipelihara dalam
rangka proses islamisasi itu banyak sekali, antara lain perayaan Garebek Maulud
(Sekaten) di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon.
Islamisasi juga dilakukan melalui pertunjukkan wayang yang telah dipoles
dengan unsur-unsur Islam. Menurut cerita, Sunan Kalijaga juga pandai memainkan
wayang. Islamisasi melalui sastra ditempuh dengan cara menyadur buku-buku
tasawuf, hikayat, dan babad ke dalam bahasa pergaulan (Melayu).
Perincian 8:
Gerakan penyebaran Islam di Jawa tidak dapat dipisahkan dengan peranan Wali
Songo. Istilah wali adalah sebutan bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkat
pengetahuan dan penghayatan agama Islam yang sangat dalam dan sanggup berjuang
untuk kepentingan agama tersebut. Oleh karena itu, para wali menjadi sangat
dekat dengan Allah sehingga mendapat gelar Waliullah (orang yang sangat
dikasihi Allah). Sesuai dengan zamannya, wali-wali itu juga memiliki kekuatan
magis karena sebagian wali juga merupakan ahli tasawuf.
Comments
Post a Comment